Kisah Bocah 14 Tahun yang Hidup di Tengah Banjir Rob
*Hidup Bersama Adik, Jadi Tulang Punggung Keluarga*
Kisah bocah menjadi tulang punggung keluarga tidak hanya terjadi pada Tasripin atau Indah Sari, di Purbalingga saja. Di pesisir Kabupaten Pekalongan yang akrab dengan fenomena rob, anak usia 14 tahun juga harus putus sekolah demi menghidupi adiknya. Bagaimana kisahnya?
M Hadiyan, Tirto
Kisah bocah menjadi tulang punggung keluarga tidak hanya terjadi pada Tasripin atau Indah Sari, di Purbalingga saja. Di pesisir Kabupaten Pekalongan yang akrab dengan fenomena rob, anak usia 14 tahun juga harus putus sekolah demi menghidupi adiknya. Bagaimana kisahnya?
M Hadiyan, Tirto
Sore itu, Jumat (19/7), cuaca tampak cerah, meski banjir rob masih
menggenang di sebagian badan jalan Desa Jeruksari RT 01 RW 07 Tirto
Pekalongan. Sembari menunggu waktu buka tiba, Septi Krismaningsih, gadis
berusia 14 tahun yang menempati salah satu rumah kecil di daerah itu,
terlihat sibuk menanak nasi untuk hidangan buka dirinya dan adik semata
wayangnya, Slamet Santo (10).
Keduanya terpaksa hidup sebatangkara di rumah mungil peninggalan orang tuanya, sejak satu tahun terakhir kepergian Sang ibu, Bawon, karena penyakit Lever yang dideritanya pada 2012 lalu. Sementara ayah mereka, Casmo, telah menemui ajal setelah terpeleset di kawasan pelabuhan empat tahun yang lalu.
Jika dilihat, rumah itu tampak kumuh dari luar. Endapan air rob yang masih tersisa di teras keramik berwarna hitam yang sudah terlihat rusak dan banyak yang mengelupas itu tampak kotor. Sementa di dalam rumah, hanya ada sebuah lemari tanpa pintu dan sebuah meja tua. Hanya retakkan dan lubang yang menghiasi dinding rumah kecil tersebut. Hanya amben yang lekat dengan tikar tanpa kasur yang kerap dijadikan tempat mereka berlindung saat rob datang.
Seandainya nasib Septi sedikit beruntung, dengan usianya sekarang, mungkin ia sudah menginjak kelas II SMP. Hanya saja kerasnya hidup memaksanya putus sekolah demi mendapatkan sesuap nasi untuk adik kesayangannya itu. Agar bertahan hidup dengan keluarga kecilnya itu, ia bekerja sebagai buruh “nyolet” batik pada sebuah industri batik di desa Tegaldowo. Upah yang ia peroleh dari hasilnya sebagai buruh batik, hanya Rp15 ribu per hari. Sementara, adik kecilnya itu, juga putus sekolah lantaran malu dengan teman-temannya.
“Sebenarnya saya ingin adik saya bisa melanjutka sekolah, tapi Santo tidak mau karena malu dengan temannya yang punya usia di bawah dirinya,” ungkap Septi.
Sembari menanak nasi dengan tungku yang ia tata dari tumpukan bata (di rumah Septi tak ada kompor gas maupun minyak, red) itu, ia mengaku, telah memperoleh dana Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) sebesar Rp300 ribu beberapa waktu yang lalu. Tapi, oleh Septi uang tersebut ia tabung dengan maksud demi dapat membeli keperluan saat Lebaran nanti. “Uangnya masih saya tabung buat beli baju lebaran buat kami berdua,” tuturnya.
Setelah beberapa waktu lalu ada pewarta meliput kehidupannya, Septi dan Santo bisa sedikit beruntung lantaran para dermawan silih berganti menghampirinya. Sekarang, yang ia harapkan hanya dapat memperbaiki rumah peninggalan orang tuanya itu. Karena saat sebelum ibunya meninggal, ia pernah berpesan kepada Septi agar tetap menjaga rumah dengan baik. “Ibu berpesan sama saya agar saya dan Santo tetap tinggal di rumah,” terangnya.
Hal itulah yang mungkin mendasari pemikiran Septi, meski dengan kondisi alam yang setiap saat mampu menggenangkan rumah mungilnya, ia tetap akan bertahan. Sekalipun ada yang menawari dirinya untuk tinggal di rumah gedong, ia tetap akan bertahan. Meski, ia sedikit berharap, pemerintah mampu memperbaiki rumahnya yang selalu menjadi tempat persinggahan air laut kala rob datang. “Belum punya uang untuk memperbaiki rumah,” katanya lugu.
Sebagai kepala keluarga, kemandiriannya Septi sudah dapat terlihat dari perilakunya saat kedua orang mereka masih hidup. Hal ini diungkapkan Casuni (50), tetangga yang tinggal di samping Septi dan Santo. Menurutnya, saat ayahnya masih hidup, Septi sudah sering membantu ibunya mencari uang dengan berdagang ikan. Hingga ayahnya meninggal, ia berjuang sendiri demi menghidupi adiknya dan ibunya yang masih sakit-sakitan saat itu. “Septi itu anaknya jujur, mandiri dan tegar. Sebagai tetangga sekaligus saudaranya saya kadang tidak tega, tapi saya tidak bisa berbuat banyak karena kondisi keluarga saya juga sama-sama susah,” ucapnya. (radarpekalongan)
Keduanya terpaksa hidup sebatangkara di rumah mungil peninggalan orang tuanya, sejak satu tahun terakhir kepergian Sang ibu, Bawon, karena penyakit Lever yang dideritanya pada 2012 lalu. Sementara ayah mereka, Casmo, telah menemui ajal setelah terpeleset di kawasan pelabuhan empat tahun yang lalu.
Jika dilihat, rumah itu tampak kumuh dari luar. Endapan air rob yang masih tersisa di teras keramik berwarna hitam yang sudah terlihat rusak dan banyak yang mengelupas itu tampak kotor. Sementa di dalam rumah, hanya ada sebuah lemari tanpa pintu dan sebuah meja tua. Hanya retakkan dan lubang yang menghiasi dinding rumah kecil tersebut. Hanya amben yang lekat dengan tikar tanpa kasur yang kerap dijadikan tempat mereka berlindung saat rob datang.
Seandainya nasib Septi sedikit beruntung, dengan usianya sekarang, mungkin ia sudah menginjak kelas II SMP. Hanya saja kerasnya hidup memaksanya putus sekolah demi mendapatkan sesuap nasi untuk adik kesayangannya itu. Agar bertahan hidup dengan keluarga kecilnya itu, ia bekerja sebagai buruh “nyolet” batik pada sebuah industri batik di desa Tegaldowo. Upah yang ia peroleh dari hasilnya sebagai buruh batik, hanya Rp15 ribu per hari. Sementara, adik kecilnya itu, juga putus sekolah lantaran malu dengan teman-temannya.
“Sebenarnya saya ingin adik saya bisa melanjutka sekolah, tapi Santo tidak mau karena malu dengan temannya yang punya usia di bawah dirinya,” ungkap Septi.
Sembari menanak nasi dengan tungku yang ia tata dari tumpukan bata (di rumah Septi tak ada kompor gas maupun minyak, red) itu, ia mengaku, telah memperoleh dana Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) sebesar Rp300 ribu beberapa waktu yang lalu. Tapi, oleh Septi uang tersebut ia tabung dengan maksud demi dapat membeli keperluan saat Lebaran nanti. “Uangnya masih saya tabung buat beli baju lebaran buat kami berdua,” tuturnya.
Setelah beberapa waktu lalu ada pewarta meliput kehidupannya, Septi dan Santo bisa sedikit beruntung lantaran para dermawan silih berganti menghampirinya. Sekarang, yang ia harapkan hanya dapat memperbaiki rumah peninggalan orang tuanya itu. Karena saat sebelum ibunya meninggal, ia pernah berpesan kepada Septi agar tetap menjaga rumah dengan baik. “Ibu berpesan sama saya agar saya dan Santo tetap tinggal di rumah,” terangnya.
Hal itulah yang mungkin mendasari pemikiran Septi, meski dengan kondisi alam yang setiap saat mampu menggenangkan rumah mungilnya, ia tetap akan bertahan. Sekalipun ada yang menawari dirinya untuk tinggal di rumah gedong, ia tetap akan bertahan. Meski, ia sedikit berharap, pemerintah mampu memperbaiki rumahnya yang selalu menjadi tempat persinggahan air laut kala rob datang. “Belum punya uang untuk memperbaiki rumah,” katanya lugu.
Sebagai kepala keluarga, kemandiriannya Septi sudah dapat terlihat dari perilakunya saat kedua orang mereka masih hidup. Hal ini diungkapkan Casuni (50), tetangga yang tinggal di samping Septi dan Santo. Menurutnya, saat ayahnya masih hidup, Septi sudah sering membantu ibunya mencari uang dengan berdagang ikan. Hingga ayahnya meninggal, ia berjuang sendiri demi menghidupi adiknya dan ibunya yang masih sakit-sakitan saat itu. “Septi itu anaknya jujur, mandiri dan tegar. Sebagai tetangga sekaligus saudaranya saya kadang tidak tega, tapi saya tidak bisa berbuat banyak karena kondisi keluarga saya juga sama-sama susah,” ucapnya. (radarpekalongan)
Sumber : http://www.radarpekalonganonline.com/kisah-bocah-14-tahun-yang-hidup-di-tengah-banjir-rob/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar